Senin, 06 Juni 2016

Informasi Nilai UAS Genap 2015/2016

Mohon maaf Nilai Akhir UAS Mata Kuliah: Pengantar Filsafat, Kepemimpinan Pendidikan, Manajemen Pendidikan Pesantren, dan Metodologi Penelitian Kuantitatif belum Bapak Publikasikan, karena masih menunggu beberapa tugas yang belum masuk... terima kasih,,,,

Enam Anjuran Rasulullah SAW Menjelang Ramadhan untuk mendapat Ampunan, Rahmat dan Keberkahan

Ramadhan sebentar lagi akan mengisi hari-hari kita dan sudah selayaknya bagi kita untuk menyambut bulan suci tersebut dengan penuh kegembiraan. Karena sesungguhnya di dalam bulan Ramadhan, Allah telah menyediakan beragam kenikmatan mulai dari ampunan, rahmat hingga keberkahan seperti dilipat gandakannya pahala.
Karenanya sangat disayangkan jika bulan Ramadhan hanya lewat begitu saja tanpa dioptimalkan dengan berbagai amalan seperti shalat wajib, shalat sunnah, tilawah, dzikir dan yang lainnya. Jika bisa seperti itu setiap harinya dan dilakukan dengan istiqomah, maka Allah akan melimpahkan karuniaNya kepada kita semua.
Rasulullah pun telah memberikan anjuran kepada umatnya agar tidak menyia-nyiakan bulan suci tersebut karena belum tentu kita bisa melalui kembali Ramadhan yang akan datang.
Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dari Salman Al Farisi dijelaskan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tengah berkhutbah di akhir bulan Sya’ban, beliau berpesan kepada umatnya dengan 6 hal berikut.
  1. Pergunakan Bulan Ramadhan dengan Sebaik-Baiknya. Tentu kita sudah mengetahui dalam surat Al Qadr bahwa salah satu malam di bulan Ramadhan memiliki keutamaan lebih dari seribu bulan. Tentu sejak awal bulan kita pun bersungguh-sungguh melalui bulan Ramadhan dengan berbagai amalan, baik ibadah yang wajib seperti shalat wajib dan puasa ataupun ibadah sunah seperti shalat tarawih, shalat sunah dan yang lainnya. Dengan begitu mudah-mudahan Allah memperkenankan kepada kita semua untuk bisa mendapatkan malam Lailatul Qadar tersebut. 
  2. Bulan Dilipat Gandakannya Pahala, Isilah dengan Amal Shalih. Jika di bulan-bulan sebelumnya Allah hanya menganjar kebaikan manusia misal dengan 10 pahala, maka di bulan Ramadhan Allah membalas dengan berkali-kali lipat. Allah bahkan memperjelas bahwa siapa yang melakukan satu ibadah fardhu di bulan Ramadhan akan sama dengan 70 kali ibadah fardhu di bulan lainnya. Jadi masihkah membiarkan bulan tersebut dilalui dengan sia-sia?
  3. Jadikan Bulan Ramadhan untuk Melatih Kesabaran. Bulan Ramadhan memang menjadi bulan yang penuh dengan kesabaran. Bagaimana tidak, setiap hari selama sebulan kita menahan lapar, haus dan hal yang mampu membatalkan puasa. Bukankah itu merupakan kesabaran yang paling tinggi? Belum lagi harus menghindari berbagai amalan atau perilaku yang menghilangkan pahala puasa. Maka sangat wajar jika bulan tersebut melatih kita untuk optimal dalam bersabar. 
  4. Belajarlah Menumbuhkan Simpati Kepada Orang Lain. Jika setiap hari atau setiap saat kita tidak pernah bisa lepas dari makanan, maka dengan berpuasa kita akan lebih menghargai perasaan orang miskin yang kesulitan mendapatkan makanan. Rasulullah bahkan menganjurkan berbuka puasa dengan satu buah kurma dan satu tegukan air susu. Perasaan simpati juga mendatangkan kebaikan berupa ingin berbagi dengan orang lain lewat pemberian makanan. Dan ketahuilah bahwa barang siapa yang memberikan makanan bagi orang yang berpuasa, maka akan mendapatkan pahala sebagaimana orang tersebut berpuasa. 
  5. Tingkatkan dan Istiqomahkan Amal Shalih. Allah dan RasulNya telah banyak menyebutkan bahwa bulan Ramadhan menjadi bulan yang penuh dengan rahmat dan ampunan. Tentu untuk mendapatkannya bukan dengan jalan berleha-leha atau santai. Perlu adanya peningkatan amal ibadah sehingga Allah lewat kasih sayangNya menurunkan rahmat dan ampunanNya. Dengan demikian bulan Ramadhan menjadi bulan yang mampu meningkatkan ibadah guna diterapkan di bulan berikutnya. 
  6. Perbanyak Doa dan Mohon Ampunan. Dalam suatu hadist disebutkan bahwa 10 hari pertengahan Ramadhan, Allah akan mengampuni hamba-hambaNya. Di 10 hari terakhirnya, Allah akan membebaskan manusia dari api neraka. Karenanya moment tersebut sangat pas untuk kita memanjatkan doa dan ampunan seperti mengucapkan kalimat istighfar dan doa di setiap penghujung shalat.
Itulah 6 anjuran Rasulullah menjelang Ramadhan bagi seorang muslim yang benar-benar menginginkan rahmat, ampunan dan keberkahan Allah menaungi dirinya. (sumber: http://www.kabarmakkah.com/2016/05/6-anjuran-rasulullah-menjelang-ramadhan.html, diakses 6/6/16 Pkl 09.03)

Kamis, 14 April 2016



SINERGITAS VISI DALAM PENGUATAN KURIKULUM PTKIN
(Kaijan tentang Kurikulum UIN SGD Bandung)
Oleh: Pepen Supendi

Berdasarkan kurikulum UIN SGD Bandung, output dan outcome lulusannya didesain untuk memenuhi seluruh persyaratan atau komponen kurikulum UIN SGD Bandung. Pada tingkat dokumen, kurikulum UIN SGD Bandung yang ada sekarang telah mengandung visi, misi, tujuan, substansi kajian, mata kuliah, silabus, RPS, dan instrumen evaluasi (baik evaluasi pembelajaran maupun evaluasi kurikulum). Sedangkan, pada tingkat implementasi, kurikulum UIN SGD Bandung sedang peningkatan implementasi menuju perbaikan dan pencapaian kualitas ideal (unggul dan kompetitif) dengan mempertimbangkan kemampuan, SDM, serta dinamika internal dan eksternal.
Secara implisit, kurikulum UIN SGD Bandung memberikan ruang bagi empat unsur pokok, yaitu: (1) penanaman nilai-nilai keislaman; (2) pengembangan dan tranformasi IPTEKS; (3) pengembangan profesionalisme dan kompetensi; serta (4) kesesuaian dengan kebutuhan pasar. Dari keempat unsur utama tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kurikulum UIN SGD Bandung merupakan konvergensi dari eempat tipe kurikulum, yaitu: (1) kurikulum berbasis nilai, yang berorientasi pada penanaman nilai; (2) kurikulum subjek akademis, yang berorientasi pada pengembangan dan tranformasi IPTEKS, (3) KBK (kurikulum berbasis kompetensi), yang berorientasi pada pengembangan kompetensi dan profesionalisme; dan (4) kurikulum berbasis kebutuhan pasar atau KKNI, yang berorientasi pada untuk memenuhi kebutuhan pasar atau dunia kerja.
Hasil konvergensi atau peramuan dari keempat tipe kurikulum di atas, nampaknya belum menemukan hasil final atau titik akhir, baik dalam bentuk maupun dalam implementasinya. Oleh karena itu, kurikulum UIN SGD Bandung akan terus berdinamika dan berdialektika menuju INOVASI dan penyempurnaan. Namun, apapun namanya dari bentuk kurikulum UIN SGD Bandung yang ada pada saat ini, ada yang perlu diketahui bahwa: (1) kurikulum terus diupayakan diinovasi dan dikembangkan serta semuanya diorientasikan untuk menjadikan UIN SGD Bandung, sebagai institusi yang unggul dan kompetitif dalam berbagai kajian baik di tingkat lokal, regional, nasional dan internasional; (2) mencetak sarjana (output) yang memiliki keunggulan akhlak karimah, kompetitif dalam profesionalisme (di dunia kerja), memiliki intelektualitas yang unggul, mandiri, inovatif, kreatif, dan berwawasan ke masa depan dalam menyongsong era MEA.
Dari gambaran kurikulum di atas, tersirat bahwa salah satu unsur utama dalam bentuk kurikulum UIN SGD Bandung ialah upaya penanaman nilai ke-Islaman, sehingga salah satu standar bagi output alumnipun yaitu memiliki keunggulan akhlak karimah, selain unggul dan kompetitif dalam bidang profesionalisme dan intelektualisme sesuai dengan kaijan prodi masing-masing. Keunggulan dalam bidang akhlak ini bagi civitas akademika UIN SGD Bandung mengacu pada paradigma “WAHYU MEMANDU ILMU”. Lebih jauh lagi, sesuai dengan visi dan misi Kementerian Agama RI dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu, salah satu ciri pembeda dari UIN SGD Bandung adalah seluruh proses implementasi kurikulumnya memberikan ruang proporsional bagi penanaman nilai akhlak atau unggul dalam akhlak karimah. Keungglulan dalam nilai atau akhlak karimah, nampaknya sudah menjadi kesepakatan bersama. Namun, persoalan kemudian ialah bagaimana mendesain implementasi kurikulum, terutama proses pembelajaran dan evaluasinya yang mampu menghasilkan mahasiswa yang unggul dalam akhlak, selain juga harus kompetitif, profesional, mandiri dan lainnya.
Setidaknya, ada empat hal yang dapat dirumuskan dalam upaya keunggulan akhlak karimah, yaitu: (1) mengorientasikan mata kuliah-mata kuliah yang kental dengan nuansa agamanya, seperti metodologi studi Islam, al-Quran Hadis, Ushul Fiqh, Ilmu Kalam, dan akhlak tasawuf dalam upaya pembentukan sikap dan perilaku “Islami”; (2) memperkaya substansi kajian (materi RPS) dari mata kuliah-mata kuliah berbasis program studi dengan materi-materi ke-Islaman; (3) menegakkan aturan-aturan dalam semua kegiatan kemahasiswaan; dan (4) memperkaya perspektif ke-Islaman dalam tambahan.

Senin, 11 April 2016

Korupi dan Pendidikan: Sebuah Renungan



KORUPSI DAN PENDIDIKAN
Oleh: Dr. Pepen Supendi, M.Ag.

 Pengantar
Hasil survey dari Internasional Country Risk Guide Index (ICRGI), sebagaimana dikemukakan Azyumardi Azra (2003) bahwa sejak tahun 1992 hingga 2000: (a) Indeks korupsi Indonesia yang mayoritas agama Islam terus meningkat dari sekitar 7 menjadi hampir 9 (tahun 2000). Bahkan menurut hasil studi PERC (The Political and Economic Risk Consultancy) tahun 2004 tentang Corruption Country, Indonesia berada pada rengking pertama se-Asia, dengan indeks 9,25, dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 9, 4; (b) Di Rusia yang mayoritas penduduknya Kristen, dengan indeks hampir 9 pada tahun 2000; (c) Pakistan, Banglades dan Nigeria yang mayoritas penduduk Muslim, memiliki indeks korupsi rata-rata di atas 7; (d) Argentina, Meksiko, Filipina atau Kolombia yang berpenduduk mayoritas Kristiani, indeks korupsinya juga di atas 7; (e) Thailand yang mayoritas penduduknya Budha, indeks korupsinya hampir mencapai 8; (f) Sedangkan, di Iran, Arab Saudi, Syria atau Malaysia yang mayoritas penduduknya Muslim, indeks korupsinya jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia dan Pakistan.
Bertolak dari hasil survei di atas, dapat disimpulkan bahwa tinggi atau rendahnya tindak kriminal (seperti korupsi) tidak banyak terkait dengan agama, tetapi justru lebih disebabkan karena: (a) lemahnya penegakan hukum atau soft state (negara lembek) dalam penegakan hukum, semuanya bisa diatur dengan sogok menyogok, money politics, dan KUHP (Kasih Uang Habis Perkara), (b) mewabahnya gaya hidup hedonistik, (c) kurang adanya political will dan keteladanan dari pejabat-pejabat publik untuk memberantas korupsi atau penyakit sosial lainnya. Karena itu, tidaklah adil kalau orang secara simplisit mengkambinghitamkan agama.
Konklusi di atas, jika ditelaah dalam perspektif pendidikan, pada dasarnya secara langsung atau tidak, masalah korupsi akan berhubungan dengan persoalan pendidikan. Kontribusi pendidikan dalam konteks ini adalah pada pengebangan mentalitas manusia yang merupakan produknya. Karena itu, timbul persoalan “apakah pendidikan dapat mendukung budaya korupsi makin marak”? ataukah sebaliknya “pendidikan justru dapat memberantas budaya korupsi”?. Jika pendidikan dikatakan memiliki kontribusi ‘secara langsung atau tidak’ dalam mendukung budaya korupsi tersebut, maka aspek-aspek manakah dari aktivitas pendidikan kita yang dapat mendukungnya? Dan bagaiamna solusi pemecahannya? Sebaliknya, jika pendidikan justru dapat memberantas budaya korupsi, maka peran-peran apa yang bisa dimainkan di dalam aktivitas pendidikan tersebut? Model pendidikan seperti apa yang dapat mewujudkan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi yang merajalela ini ?

Benarkah Pendidikan dapat Mendukung Budaya Korupsi
Korupsi menurut Transparancy International "Perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka". Sedangkan, penulis dengan gegabah mendefinisikan korupsi adalah usaha-usaha untuk mengamankan kekayaan atau kekuasaan melalui cara-cara tidak sah-keuntungan pribadi atas biaya rakyat.
Agaknya tidak adil jika jika sekolah/perguruan tinggi dipandang sebagai satu-satunya instituasi yang banyak diwacanakan berkaitan dengan persoalan krisis akhlak atau moral, seperti korupsi dalan lain-lain, sementara sistem politik, masyarakat dan keluarga seolah-olah luput dari perhatian. Padahal, institusi-nstitusi tersebut memegang peran dominan dalam perkembangan perilaku para peserta didik. Di samping itu, kenyataan menunjukkan bahwa tantangan global dalam konteks budaya, life style (gaya hidup) tidak cukup tertanggulangi lewat pendidikan sekolah an sich. Karena itu, sangat tidak adil mengkambinghitamkan pendidikan sekolah/perguruan tinggi berkaitan dengan krisis akhlak atau moral tersebut.
Pendidikan sebagai institusi sosial, jika dilihat dari organisasi pelaksanaannya dapat dikelompokan ke dalam pendidikan formal, nonformal, dan informal, yang menurut UU Nomor 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional disebut jalur pendidikan, yaitu wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Ketiga-tiganya saling melengkapi dan memperkaya. Jika dilihat dari struktur hubungan anatarmanusianya, dalam institusi pendidikan itu dapat diklasipikasikan ke dalam tiga hubungan, yaitu: (a) hubungan atasan bawahan, (b) hubungan profesional, (c) hubungan sederajat atau sukarela. Hubungan atasan-bawahan mengandaikan perlunya kepatuhan dan loyalitas bawahan terhadap atasannya. Hubungan profesional mengadaikan adanya penciptaan hubungan yang rasional, kritis dinamis antarsesama peserta didik atau dengan guru, asah dan asuh. Hubungan sederajat atau sukarela merupakan hubungan manusia antarteman sejawat, untuk saling membantu, mengingatkan dan melengkapi antar satu dengan lainnya. Ketiga hubungan tersebut perlu didudukan secara proporsional dengan dilandasi oleh kode etik tertentu, untuk menghidari tumpang tindih.
Dalam konteks pendidikan sekolah/perguruan tinggi, selama ini terdapat beberapa titik lemah yang melekat pada pendidikan kita, diantaranya: (1) paradigma yang dikembangkan lebih menekankan pada mekanisme (untuk tidak mengatakan dikotomis), (2) inovasi pendidikan yang dilakukan cenderung merupakan top-down inovation, (3) keberhasilan pendidikan lebih banyak diukur dari keunggulan ranah kognitif dan kurang mengukur ranah afektif dan psikomotor, sehingga pembinaan watak dan budi pekerti terabaikan, (4) titel dan gelar menjadi target pendidikan yang tidak disertasi dengan tanggung jawab ilmiah yang mumpuni, sehingga terjadi pengejaran titel yang kurang sehat, (5) manajemen pendidikan yang menekankan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan kepada pemerintah dan bukan kepada seluruh stakeholders pendidikan, seperti masyarakat, orang tua, guru, dan siswa/mahasiswa itu sendiri, (6) profesi guru terkesan menjadi profesi ilmiah saja dan kurang disertai dengan bobot profesi kemanusiaan, (7) sistem pendidikan kita masih kurang memiliki komitmen terhadap dan kurang mendukung peningkatan kualitas proses dan hasil pendidikan.
Badan PBB mengklasifikasikan 10 tindak pidana korupsi yang perlu diperangi bersama, yaitu: suap, penggelapan, pemalsuan, pemerasan, menyalahgunakan wewenang, bisnis orang dalam, pemberian komisi, pilih kasih, nepotisme, dan sumbangan ilegal. Kondisi pendidikan kita yang menyimpan beberapa titik lemah tersebut di atas, akan mempunyai ekses terhadap mentalitas pelaksanaan pendidikan sekaligus para lulusannya, yang pada gilirannya secara langsung atau tidak, akan mendukung terhadap sikap dan tindak korupsi dengan berabagai macamnya tersebut (lihat Badan PBB).
Menurut Sarwedi Oemarmadi (2003) menengarai dunia pendidikan kita dapat menjadikan penyebab semakin maraknya praktik korupsi di negeri ini, yaitu: (1) kalau para pengambil kebijakan di bidang pendidikan tetap bersikap acuh tak acuh dan tidak mau mengambil keputusan apa pun untuk menjadikan dunia pendidikan seabgai benteng utama dalam upaya pencegahan merabahnya penyakit korupsi, (2) kalau para pengabil kebijakan di dunia pendidikan membiarkan dirinya tidak proaktif untuk menata kembali sistem pendidikan tinggi di Indonesia.
Karena itu, perlu dicarikan solusi pemecahannya terutama dalam hal: (a) memperbaiki paradigma pendidikan yang lebih bersifat sistemik dan integratif, (b) memperbaiki model dan strategi inovasi pendidikan yang lebih bersifat bottom-up, (c) memperbaiki ukuran keberhasilan pendidikan atau perbaikan paradigma keberhasilan pendidikan yang bukan hanya menekankan para ranah kognitif, tetapi sekaligus ranah afektif dan psikomotorik, (d) penetapan aturan yang relatif ketat dalam penetapan kenaikan kelas atau pelulusan studi dan dalam hal pemberian gelar akademis, (e) dan desentraliasi dan otonomi pendidikan yang konsisten.
Catatan Akhir
Pendidikan secara langsung atau tidak dapat mendukung budaya korupsi bilamana (a) pendidikan kita masih menyimpan beberapa titik lemah, terutama dalam hal rendahnya pembinaan mentalitas para peserta didiknya, serta praktik dunia pendidikan yang dapat membuka peluang dan kesempatan bagi praktik-praktis korupsi, (b) perguruan tinggi tetap bersikap acuh tak acuh dan tidak mau mengambil keputusan apa pun untuk menjadikan dunia pendidikan sebagai benteng utama dalam upaya pencegahan merambahnya penyakit korupsi dan membiarkan dirinya tidak proaktif dalam mengatasi masalah tersebut, yang pada gilirannya akan berimplikasi pada minimnya pemahaman para lulusan PT atau malah blank tentang seluk beluk korupsi dan anti korupsi.
Walaupun demikian, aktivitas pendidikan dapat memiliki kontribusi dalam mencegah dan mengatasi budaya korupsi, dengan jalan menjadikan pendidikan agama sebagai core pengembangan pendidikan di sekolah, yang diwujudkan dalam bentuk: (a) pengembangan nilai-nilai hidup yang terkandung dalam setiap mata pelajaran yang ada dalam struktur kurikulum secara interaktif, sinergis dan terpadu yang merupakan manifestasi dan pengejawantahan dari ajaran dan nilai-nilai agama, (b) melalui kode etik sekolah yang dibangun dari nilai-nilai agama, dan selanjutnya para pendidik melakukan rekayasa atau intervensi untuk menciptakan lahan-lahan pergumulan dialektik, yang dilakukan dalam penataan situasi dan kondisi lingkungan internal dan eksternal sekolah yang mencerminkan keterpaduannya dalam belajar memiliki, menginternalisasi, mempribadi-kan dan mengebangkan kode etik tersebut secara praktis dan operasional, (c) penciptaan suasana religius yang dilandasi oleh komitmen dan loyalitas bersama antara para warga sekolah melalui pendekatan pembiasaan, keteladanan, dan pendekatan persuasif. Agar nilai-nilai hidup yang religius tersebut dapat memberi warna terhadap masyarakatnya, maka perlu dikembangkan teori pendidikan rekonstruksi sosial berlandaskan tauhid, yaitu pembelajaran diarahkan pada upaya pembangunan dan perbaikan kembali situasi masyarakat yang sedang mengalami kritis, melalui penggalian tema-tema, isu-isu dan problem krusial yang dihadapi oleh masyarakat untuk dipecahkan dan dibatasi bersama dalam perspektif agama.
Implementasi dalam pembelajaran lebih menekankan pada bekerja secara kelompok atau kooperatif dan kolaboratif, yang bukan hanya bermakna kerja sama antara peserta didik dengan para pendidik, peserta didik lainnya, maupun sumber-sumber belajar yang tersedia, tetapi juga bermakna penerapan pendekatan inter atau multidisipliner dan lintas disiplin dalam memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat dengan mendudukkan nilai-nilai dan spirit agama sebagai payungnya menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik. Tema pembelajaran tentang korupsi dan anti korupsi misalnya, adalah masalah (penyakit) sosial yang didudukkan dalam konteks kewajiban setiap umat beragama untuk memberantasnya, sehingga upaya mencegah dan mengatasinya dilandasi oleh nilai-nilai dan spirit agama, sedangkan cara kerjanya dapat menggunakan pendekatan psikologis, pedagogis atau andragogis, sosiologis, ekonomi, dan bahkan kebijakan politik. Makalah yang singkat ini jauh untuk dikatakan sempurna. Oleh karena itu, melalui forum diskusi mingguan ini besar harapan kami untuk memberikan masukan dan kritikannya sehingga akan tambah sempurna.

Terima kasih semoga bermanfaat!!!

Rabu, 30 Maret 2016

BALANCED SCORECARD PENDIDIKAN ISLAM

Oleh: Dr. Pepen Supendi, M.Ag.

ABSTRAK
Balanced Scorecard (BSC) adalah metoda yang dikembangkan Robert S. Kaplan dan David P. Norton untuk mengukur setiap aktivitas yang dilakukan oleh suatu organisasi dalam rangka merealisasikan tujuan organisasi tersebut. Balanced Scorecard semula merupakan aktivitas tersendiri yang terkait dengan penentuan sasaran, tetapi kemudian diintegrasikan dengan sistem manajemen strategis. Balanced Scorecard bahkan dikembangkan lebih lanjut sebagai sarana untuk berkomunkasi dari berbagai unit dalam suatu organisasi. Balanced Scorecard juga dikembangkan sebagai alat bagi organisasi untuk berfokus pada strategi. Penilaian kinerja dengan Balance Scorecard diterjemahkan dalam empat perspektif yaitu: (1) perspektif finansial, (2) perspektif konsumen, (3) perspektif bisnis internal, dan (4) perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Bagaimana Balanced Scorecard diterapkan bagi organisasi lembaga pendidikan Islam merupakan tujuan dari penulisan makalah ini.

Kata Kunci: Balanced Scorecard, Pendidikan, dan Islam

A.   Pendahuluan
Pengukuran kinerja merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi lembaga pendidikan Islam. Di dalam sistem pengendalian manajemen pada lembaga pendidikan Islam, pengukuran kinerja merupakan usaha yang dilakukan pihak manajemen untuk mengevaluasi hasil-hasil kegiatan yang telah dilaksanakan oleh masing-masing pusat pertanggung jawaban yang dibandingkan dengan tolak ukur yang telah ditetapkan.[1]
Pengukuran kinerja merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi perusahaan karena pengukuran kinerja merupakan usaha memetakan strategi ke dalam tindakan pencapaian target tertentu.[2] Sistem pengukuran kinerja dapat dijadikan sebagai alat pengendalian organisasi, karena pengukuran kinerja diperkuat dengan menetapkan reward dan punishment system.[3]
Sistem pengukuran kinerja dalam manajemen tradisional ditekankan pada aspek keuangan, karena ukuran keuangan ini mudah dilakukan sehingga kinerja personal yang diukur hanya berkaitan dengan aspek keuangan. Sistem pengukuran kinerja pada aspek keuangan memang umum dilakukan, ada beberapa kelebihan dan kelemahan dalam sistem pengukuran tradisional yang menitikberatkan pada aspek keuangan.
Kelebihannya adalah orientasinya pada keuntungan jangka pendek dan hal ini akan mendorong manajer pendidikan lebih banyak memperbaiki kinerja lembaga pendidikan Islam jangka pendek.[4] Adapun kelemahannya adalah terbatas dengan waktu, mengungkapkan prestasi keuangan yang nyata tanpa dengan adanya suatu pengharapan yang dapat dilihat dari faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya prestasi itu sendiri, dan ketidakmampuan dalam mengukur kinerja harta tak tampak (intangible asset) dan harta intelektual (sumberdaya manusia) lembaga pendidikan Islam.[5]
Oleh karena adanya beberapa kelemahan tersebut, maka muncul ide untuk mengukur kinerja non-keuangan. Penilaian kinerja dengan menggunakan data non-keuangan, antara lain meliputi: besarnya pangsa pasar dan tingkat pertumbuhannya, kemampuan perusahaan menghasilkan produk yang digemari oleh konsumen, pengembangan dan penilaian tenaga pendidik termasuk tingkat perputaran tenaga pendidik, citra lembaga pendidikan Islam di mata masyarakat, tingkat ketepatan waktu perusahaan untuk menepati jadwal yang telah ditetapkan, persentase barang rusak selama kegiatan, banyaknya keluhan pelanggan dan pemberian garansi bagi pelanggan.[6]
Hal ini mendorong Kaplan dan Norton untuk merancang suatu system pengukuran kinerja yang lebih komprehensif yang disebut dengan Balanced Scorecard, Robert S. Kaplan dan David P. Norton. Kaplan dan Norton (1993) menyatakan bahwa:
“Balanced Scorecard provides executives with a comprehensive framework that translates a company’s strategic objectives into a coherent set of performance measures”.

Dari pernyataan di atas dapat diketahui bahwa Balanced Scorecard menyediakan tujuan-tujuan strategis organisasi ke dalam seperangkat tolak ukur kinerja yang saling berhubungan. Balanced Scorecard merupakan suatu metode pengukuran kinerja yang tidak hanya mencerminkan pada kinerja keuangan saja, tetapi juga kinerja non-keuangan. Aspek non-keuangan mendapat perhatian yang cukup serius karena pada dasarnya peningkatan kinerja keuangan bersumber dari aspek non-keuangan, sehingga apabila lembaga pendidikan Islam akan melakukan pelipatgandaan kinerja maka fokus perhatian perusahaan akan ditujukan kepada peningkatan kinerja non-keuangan, karena dari situlah keuangan berasal.
Balanced Scorecard memberikan suatu kerangka kerja bagi pihak manajemen untuk menerjemahkan misi dan strategi organisasi ke dalam tujuan-tujuan dan ukuran-ukuran yang dapat dilihat dari empat perspektif (Kaplan dan Norton, 1996). Keempat perspektif itu dimaksudkan untuk menjelaskan penampilan suatu organisasi dari empat titik pandang berikut: (1) Perspektif Keuangan, untuk menjawab pertanyaan: untuk mencapai sukses secara finansial, kinerja keuangan organisasi yang bagaimanakah yang patut ditunjukkan kepada pemilik organisasi? (2) Perspektif Pelanggan, untuk menjawab pertanyaan: bagaimana penampilan organisasi di mata pelanggan? (3) Perspektif Proses Bisnis Internal, untuk menjawab pertanyaan: untuk memuaskan para pemilik organisasi dan para pelanggan, proses bisnis mana yang harus diunggulkan? dan (4) Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan, untuk menjawab pertanyaan: bagaimana organisasi mempertahankan kemampuan sehingga organisasi terus berubah dan menjadi lebih baik?.
Pada dasarnya, pengembangan Balanced Scorecard baik pada sektor swasta maupun publik dimaksudkan untuk memberikan kepuasan bagi para pelanggan. Perbedaannya dapat dilihat dari tujuan maupun pihak-pihak yang berkepentingan. Penerapan Balanced Scorecard pada sektor lembaga pendidikan Islam dimaksudkan untuk meningkatkan persaingan, sedangkan untuk sektor publik lebih menekankan pada nilai misi dan pencapaian (mission, value, effectiveness).
Terdapat beberapa faktor mendesak bagi penerapan Balanced Scorecard dalam dunia pendidikan. Diantaranya lingkungan pendidikan yang semakin kompetitif, manajemen pendidikan yang kurang adaptif terhadap tantangan kemajuan, yang seharusnya disikapi dengan kejujuran dan transparansi, malah perselingkuhan dalam sistem pengujian dan nilai untuk kepentingan jangka pendek, kinerja pendidik dan tenaga kependidikan tidak sejalan dengan manajemen pendidikan yang berorientasi pada kemajuan yang berkelanjutan.
Studi Balanced Scorecard bagi pegiat manajemen pendidikan sangat penting mengingat realitas mutu kepemimpinan pendidikan di Indonesia  yang  terpenjara oleh hal-hal sebagai berikut:[7] Pertama, kurang kesadaran para manajer pendidikan akan fungsi pendidikan sebagai pendongkrak utama  peningkatan mutu manusia Indonesia. Beberapa indikator dapat dilihat pada klaim kekuasaan pembentukan watak melalaui dunia politik dan ekonomi. Kedua, kurang kesadaran akan fungsi pendidikan sebagai penciptaan keunggulan SDM yang berkesinambungan. Kasus-kasus jual beli Ijazah, NEM, jual beli kunci jawaban SD, SMP di Kota Bandung, dan berujung pada harga bangku untuk siswa baru SMA cluster satu, diantara indikator-indikator kelemahan di atas.
Ketiga, kurang kesadaran para manajer pendidikan akan pentingnya posisi kepala sekolah/madrasah, guru, tata usaha sebagai personil yang menghasilkan kekuatan luar biasa lembaga pendidikan dalam memenangkan peluang dalam dunia kerja. Keempat, kurang keberanian para manajer pendidikan menggunakan Balanced Scorecard sebagai alat untk membangun lembaga pendidikan yang terus menerus berkualifikasi tinggi dalam hal mutu kinerjanya.
Berdasarkan kerangka dasar tersebut, maka penulis ingin membahas elemen-elemen Balanced Scorecard untuk mengukur berbagai aspek baik aspek keuangan, aspek pelanggan, aspek bisnis internal dan aspek pembelajaran dan pertumbuhan berdasarkan visi, misi dan tujuan yang dijabarkan dalam strategi lembaga pendidikan Islam dan nantinya setelah aspek-aspek non-finansial tersebut diukur, diharapkan dapat membuat pengukuran kinerja di lembaga pendidikan Islam menjadi lebih baik dari yang ada sekarang. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas mengenai “Penerapan Balanced Scorecard Pendidikan Islam sebagai salah satu tolok ukur dalam pengukuran kinerja di lembaga pendidikan Islam.
Makalah ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis isi (content analysis). Sumber datanya dikelompokan menjadi dua kategori, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam makalah ini studi kepustakaan dan hasil mini riset terhadap lembaga pendidikan Islam. Pada akhirnya dalam proses analisis data dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

B.   Balanced Scorecard Pendidikan Islam
1.   Konsep Dasar Balanced Scorecard
Pada tahun 1990-an, Nolan Norton Institute, yang dipimpin oleh David P. Norton mensponsori studi tentang “Pengukuran Kinerja dalam Organisasi Masa Depan”. Studi ini didorong oleh kesadaran bahwa pada waktu itu ukuran kinerja keuangan yang digunakan oleh semua perusahaan untuk mengukur kinerja eksekutif tidak lagi memadai. Hasil studi tersebut diterbitkan dalam sebuah artikel berjudul “Balanced Scorecard Measures That Drive Performance” dalam Harvard Business Review.[8] Pada tahun 1996 Norton dan Kaplan menerbitkan buku The Balanced Scorecard–Translating Strategy into Action, berdasarkan pengalaman mereka dalam menerapkan BSC pada banyak perusahaan di Amerika.
Buku tersebut semakin mempopulerkan BSC, sampai ke negara-negara di Eropa, Australia dan Asia. Belum lama ini mereka menerbitkan buku The Strategy Focused Organisation–How BSC Companies Thrive in the New Business Environment (2001). Para penemu dan rekan-rekannya membangun sebuah lembaga Balanced Scorecard Collaboration untuk mempopulerkan penggunaan BSC pada berbagai institusi di berbagai negara. Secara teratur Norton dan Kaplan menyelenggarakan konferensi di berbagai negara untuk memperkenalkan dan membahas konsep-konsep terbaru mereka. Disayangkan Indonesia sampai saat ini belum mampu menghadirkan pencetus ide BSC ini, namun kursus-kursus dan buku-buku mengenai BSC sudah ada, walau masih bersifat terbatas.
Menurut Kaplan dan Norton (1996) Balanced Scorecard terdiri dari dua kata, yaitu: (1) Scorecard, yaitu kartu yang digunakan untuk mencatat skor hasil kinerja seseorang yang nantinya digunakan untuk membandingkan dengan hasil kinerja yang sesungguhnya. (2) Balanced, yaitu menunjukkan bahwa kinerja personel diukur secara seimbang dan dipandang dari dua aspek yaitu keuangan dan non-keuangan, jangka pendek dan jangka panjang dan dari segi intern maupun ekstern.
Dari definisi tersebut pengertian sederhana dari Balanced Scorecard adalah kartu skor yang digunakan untuk mengukur kinerja dengan memperhatikan keseimbangan antara sisi keuangan dan non-keuangan, jangka panjang dan jangka pendek.
Balanced Scorecard merupakan suatu kerangka kerja, suatu bahasa yang mengkomunikasikan visi, misi, dan strategi kepada seluruh pegawai tentang kunci penentu sukses saat ini dan masa datang. Selain itu, Balanced Scorecard juga menekankan bahwa pengukuran kinerja keuangan maupun non-keuangan tersebut haruslah merupakan bagian dari sistem informasi seluruh pegawai baik manajemen tingkat atas maupun tingkat bawah. Balanced Scorecard menekankan bahwa semua ukuran finansial dan non-finansial harus menjadi bagian sistem informasi untuk para pekerja di semua tingkat organisasi. Balanced Scorecard berbeda dengan sistem pengukuran kinerja tradisional yang hanya bertumpu pada ukuran kinerja semata.
Balanced Scorecard memberi manfaat bagi organisasi dalam beberapa cara: (1) menjelaskan visi, misi, dan strategi organisasi, (2) menyelaraskan organisasi untuk mencapai visi, misi, dan strategi tersebut, (3) mengintegrasikan perencanaan strategis dan alokasi sumber daya, dan (4) meningkatkan efektivitas manajemen dengan menyediakan informasi yang tepat untuk mengarahkan perubahan.
Selanjutnya dalam menerapkan BSC, Robert S. Kaplan dan David P. Norton, mensyaratkan dipegangnya lima prinsip utama berikut:
1)   Menerjemahkan sistem manajemen strategi berbasis Balanced Scorecard ke dalam terminologi operasional sehingga semua orang dapat memahami;
2)   Menghubungkan dan menyelaraskan organisasi dengan strategi itu. Ini untuk memberikan arah dari eksekutif kepada staf garis depan;
3)   Membuat strategi merupakan pekerjaan bagi semua orang melalui kontribusi setiap orang dalam implementasi strategis;
4)   Membuat strategi suatu proses terus menerus melalui pembelajaran dan adaptasi organisasi, dan;
5)   Melaksanakan agenda perubahan oleh eksekutif guna memobilisasi perubahan.

2.   Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam Menggunakan Strategi Balanced Scorecard
Di dalam masyarakat modern, cara pandang terhadap lembaga pendidikan Islam terjadi perubahan, dari pandangan tradisional berubah pada cara pandang modern. Masyarakat modern menuntut lembaga pendidikan Islam untuk melayani jasa pendidikan yang diharapkan  dengan kualitas alumni lembaga pendidikan Islam yang adaftif dan dibutuhkan oleh perkembangan zaman. Maka dari itu lembaga pendidikan Islam dalam budaya modern harus mengalami perubahan dan pengembangan baik dari sisi sistem maupun pelayanan pendidikannya. Jika lembaga pendidikan Islam tidak mampu beradaftif dengan budaya modern maka akan tergerus kalah dan mati karena tidak dihargai oleh konsumen pendidikannya.
Persfektif lembaga pendidikan Islam mempunyai keunggulan dan daya tawar sendiri dalam peradaban modern, berbagai alasan masyarakat memandang lembaga pendidikan Islam mempunyai nilai ungul dibandingkan dengan lembaga diluar lembaga pendidikan Islam, hal ini terbukti lembaga pendidikan Islam masih eksis dan bertambah secara kuantitasnya. Penambahan kuantitas lembaga pendidikan Islam tentunya menjadi persaingan diantara lembaga tersebut, maka dari itu lembaga pendidikan Islam akan eksis jika lembaga pendidikan Islam mampu menegedepankan kualitas dan terpenuhinya harapan pengguna lembaga pendidikan Islam dituntut menghasilkan output dengan lebih efisien, efektif, memenuhi kebutuhan jaman serta kemampuan daya beli masyarakat pendidikan Islam (tidak mahal).
Pengembangan pendidikan merupakan suatu yang intangible dan tidak statis, sukar untuk diukur, akan tetapi pendidikan dapat diukur dari berbagai segi,  pengembangan pendidikan dapat dilihat dari segi ekonomi, dari segi sosial politis, sosial budaya, dari perspektif pendidikan itu sendiri (educational perspective). Jadi, lembaga pendidikan Islam bukan merupakan suatu yang statis tetapi merupakan suatu yang dinamis yang memerlukan pengembangan dan peningkatan berdasarkan kajian-kajian keilmuan yang mempengaruhi-nya.
Dalam rangka pengembangan lembaga pendidikan Islam, seluruh sumber daya manusia di lembaga pendidikan Islam dituntut untuk membangun keunggulan kompetitif dan memutakhirkan peta perjalanan (roadmap) organisasi secara berkelanjutan, menempuh langkah-langkah strategik dan mengerahkan serta memusatkan kapabilitas dan komitmen seluruh sumber daya manusia internal dalam mewujudkan masa depan lembaga pendidikan Islam.
Dalam pengembangan lembaga pendidikan Islam dibutuhkan suatu strategi yang tepat, strategi merupakan alat untuk pencapaian tujuan pengembangan lembaga pendidikan Islam, sebagaimana fungsi dari strategi dapat dilihat dari definisinya, yaitu; strategi adalah cara untuk mencapai tujuan jangka panjang. Menurut David strategi bisa berupa perluasan geografis, diversifikasi, akusisi, pengembangan mutu, penetrasi masyarakat pendidikan (pasar), rasionalisasi sumber daya manusia, divestasi, likuidasi dan joint venture.
Pengertian lain, Glueck dan Jauch memberi arti strategi sebagai rencana yang disatukan, luas dan berintegrasi yang menghubungkan keunggulan strategis lembaga dengan tantangan lingkungan, yang dirancang untuk memastikan bahwa tujuan utama dari lembaga dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat oleh organisasi.[9]
Kecenderungan umum strategi pengembangan lembaga pendidikan Islam saat ini hanya mengandalkan anggaran tahunan sebagai alat perencana masa depan organisasi,  sehingga menjadi tidak koheren antara visi; misi; tujuan; rencana jangka panjang; rencana jangka pendek; serta implementasinya[10]. Selain pengembangan ini hanya mengikut sertakan sebagian kecil sumber daya manusia untuk membangun masa depan lembaga pendidikan Islam. Penerapan strategi pengembangan  yang demikian di banyak organisasi mengalami kegagalan.
Strategi pengembangan tetap diperlukan karena lembaga pendidikan Islam dituntut untuk berkembang secara terencana dan terukur, sehingga memerlukan peta perjalanan menghadapi masa depan yang tidak pasti, memerlukan langkah-langkah strategis, dan perlu  mengarahkan kemampuan dan komitmen SDM untuk mewujudkan tujuan lembaga pendidikan Islam. Model strategi pengembangan lembaga pendidikan Islam yang ditawarkan untuk memecahkan permasalahan di atas, penulis menawarkan model strategi Balanced Scorecard yang dikembangkan oleh Kaplan dan Norton.
Peran Balanced Scorecard dalam strategi pengembangan lembaga pendidikan Islam adalah: memperluas perspektif dalam setiap tahap rumusannya, membuat fokus pengembangan menjadi seimbang, mengaitkan berbagai sasaran secara koheren, dan mengukur kinerja. Kelebihan strategi pengembangan berbasis Balanced Scorecard jika diterepakan pada lembaga pendidikan Islam dibandingkan konsep strategi yang lain adalah  bahwa ia menunjukkan indikator outcome dan output  pendidikan yang jelas, indikator internal dan eksternal, indikator keuangan dan non-keuangan, dan indikator sebab dan akibat. Balanced Scorecard adalah alat yang menyediakan pengukuran secara  komprehensif bagaimana organisasi mencapai kemajuan lewat sasaran-sasaran strategisnya.
Balanced Scorecard merupakan manajemen strategi kontemporer yang didesain untuk meningkatkan kemampuan organisasi dalam meningkatkan kinerjanya secara terus menerus. Balanced Scorecard metoda yang dikembangkan Kaplan dan Norton untuk mengukur setiap aktivitas yang dilakukan oleh suatu organisasi dalam rangka merealisasikan tujuan organisasi tersebut. Balanced Scorecard  dikembangkan sebagai alat bagi organisasi untuk berfokus pada strategi.  Balanced Scorecard solusi yang mengubah strategi menjadi tindakan, menjadikan strategi sebagai pusat organisasi, mendorong terjadinya komunikasi yang lebih baik antar individu, meningkatkan mutu pengambilan keputusan dan memberikan informasi peringatan dini, serta mengubah budaya lembaga pendidikan Islam. Potensi untuk mengubah pelayanan pembelajaran, karena dengan Balanced Scorecard  lembaga pendidikan Islam lebih transparan, informasi dapat diakses dengan mudah, pembelajaran organisasi dipercepat, umpan balik menjadi obyektif, terjadwal.
Dalam perkembangannya, saat ini Balanced Scorecard sudah lebih jauh lagi aplikasinya yang tadinya di disain hanya untuk kepentingan pengukuran kinerja saja, kini juga dapat digunakan sebagai suatu strategi pengembangan lembaga, khususnya berkaitan dengan pengembangan pendidikan Islam. Penerapan strategi BSC pada pengembangan lembaga pendidikan Islam bertujuan memperbaiki sistem konvensional pengendalian dengan memperkenalkan fakta yang lebih kualitatif dan non-finansial.
Penggunaan Balanced Scorecard digunakan sebagai alat untuk Strategic Management yang desainnya disesuaikan sesuai dengan kebutuhan lembaga pendidikan Islam dan tidak untuk diterapkan sama persis pada setiap lembaga yang setingkat. Meskipun demikian setiap perspektif yang ada harus menunjukkan cause-effect relationship sehingga masing-masing dapat dihubungkan dengan visi, misi, dan tujuan yang akan dicapai. Cause-effect relationship tersebut menghubungkan kesiapan lembaga pendidikan Islam dengan proses internal lembaga pendidikan Islam dalam transformasi layanan serta kemampuannya dalam menciptakan customer value serta tujuan finansialnya.[11] Balanced Scorecard berkembang dari kerangka berfikir tentang pengukuran kinerja dan berlanjut menjadi sebuah sistem perencanaan dan manajemen strategis. Dengan konsep Balanced Scorecard ini diharapkan akan mampu mengubah perencanaan organisasi yang menarik dari dokumen yang pasif, menjadi sebuah orkestra organisasi yang dinamis dan penuh energi.

3.   Perspektif dalam Balanced Scorecard
Balanced Scorecard tidak hanya menyediakan kerangka kerja untuk performance lembaga pendidikan Islam, namun juga membantu perencana mengidentifikasi apa yang harus dilakukan dan diukur. Kaplan dan Norton memperkenalkan empat perspektif yang berada dari suatu aktivitas lembaga yang dapat dievaluasi, diantaranya:
a.    Perspektif Keuangan (Financial Perspective)
Finansial berperan sebagai fokus bagi tujuan-tujuan strategis dan ukuran-ukuran semua perspektif dalam Balanced Scorecard. Setiap ukuran yang dipilih seyogyanya menjadi bagian dari suatu keterkaitan hubungan sebab-akibat yang memuncak pada peningkatan kinerja finansial. Kinerja lembaga pendidikan Islam dinilai dari sisi financial oleh stakeholdernya yang secara umum terdiri dari dua hal yaitu maksimalisasi penerimaan dan efisiensi pengeluaran.


 












Gambar 01. Perspektif dalam Balanced Scorecard
Selanjutnya Kaplan (1996) menjelaskan bahwa ada tiga tahapan siklus bisnis yang harus dilalui oleh suatu organisasi atau lembaga pendidikan Islam, yaitu: pertumbuhan (growth), bertahan (sustain) dan panen (harvest)[12].
a)    Growth (Berkembang)
Pada tahap ini lembaga pendidikan Islam memiliki tingkat pertumbuhan atau memiliki potensi untuk berkembang. Untuk menciptakan potensi ini, kemungkinan seorang manajer pendidikan harus terikat komitmen untuk mengembangkan suatu jasa baru, membangun dan mengembangkan fasilitas pendidikan, menambah kemampuan operasional, mengembangkan sistem, infrastruktur dan jaringan distribusi yang akan mendukung hubungan global, serta mengasuh dan mengembangkan hubungan dengan pengguna pendidikan. Dalam tahap ini lembaga pendidikan Islam beroperasi dalam cashflow yang negatif dan tingkat pengembalian yang rendah, oleh sebab itu lebih ditekankan pada perwujudan visi yang maksimal dan  mencari pengguna pendidikan baru.
b)   Sustain Stage (Bertahan)
Dalam tahap ini lembaga pendidikan Islam berusaha mempertahankan pengguna pendidikan yang ada dan mengembangkannya apabila mungkin. Investasi yang dilakukan umumnya diarahkan untuk menghilangkan kemacetan, mengembangkan kapasitas dan meningkatkan perbaikan operasional secara konsisten. Pada tahap ini lembaga pendidikan Islam tidak lagi bertumpu pada strategi-strategi jangka panjang. Sasaran keuangan tahap ini lebih diarahkan pada besarnya tingkat pengembalian atas investasi yang dilakukan. Pengukuran pada tahap ini bisa diukur dengan return on invesment, economic value added.
c)    Harvest (Panen).
Tahap ini merupakan tahap kematangan (mature), suatu tahap dimana organisasi melakukan panen (harvest) terhadap investasi mereka. Lembaga pendidikan Islam tidak lagi melakukan investasi lebih jauh kecuali hanya untuk memelihara dan perbaikan fasilitas, tidak untuk melakukan ekspansi atau membangun suatu kemampuan baru. Tujuan utama dalam tahap ini adalah memaksimumkan arus kas yang masuk ke organisasi. Sasaran keuangan untuk harvest adalah cash flow maksimum yang mampu dikembalikan dari investasi.

b.    Perspektif Pengguna (Customer Perspective)
Dewasa ini fokus strategi pengembangan lembaga pendidikan Islam lebih diarahkan pada pelanggan (customer drive strategy), dengan kata lain apa yang dibutuhkan masyarakat harus dipenuhi oleh lembaga pendidikan Islam, kinerja sekolah/madrasah minimal harus sama dengan apa yang dipersepsikan oleh masyarakat. Kenyataan dilapangan lembaga pendidikan Islam mempunyai dilematis diataranya mutu pendidikan yang kurang, menyebabkan masyarakat akan pindah ke lembaga lain, mutu lembaga pendidikan Islam yang tinggi akan menyebabkan lembaga pendidikan Islam akan rugi karena kehilangan potensi laba yang tinggi dan sebaliknya konsumen merasa beruntung karena mendapatkan produk kualitas tinggi dengan keuangan standar. Perimbangan terhadap mutu dan biaya menjadi perhitungan pokok, sehingga harus ada kesesuaian mendapatkan laba maksimum lembaga pendidikan Islam harus mampu mempersepsikan kualitas kompetensi yang diinginkan pelanggan.
Kaplan menjelaskan bahwa dari sisi organisasi kinerja pelanggan terdiri dari pangsa pasar, tingkat perolehan konsumen, kemampuan mempertahankan pelanggan, tingkat kepuasan pelanggan, dan tingkat profitabilitas pelanggan, selanjutnya dijelaskan bahwa kinerja pelanggan ini akan saling berintreraksi antara satu dengan yang lainnya.
Description: Description: Perspektif Pelanggan Inti.JPG
Gambar 02: Sirkulasi Perspektif Pelanggan Pendidikan[13]
Keterangan:
a.    Market Share; Pengukuran ini mencerminkan segmen masyarakat yang dikuasai lembaga pendidikan Islam atas keseluruhan jumlah pengguna pendidikan.
b.    Customer Retention: Mengukur tingkat lembaga pendidikan Islam dapat mempertahankan hubungan dengan pengguna pendidikan.
c.    Customer Acquisition: pengukuran unit kegiatan lembaga pendidikan Islam mampu menarik pelanggan baru atau membuat keunggulan baru.
d.    Customer Satisfaction: Menaksir tingkat kepuasan pelanggan terkait dengan kriteria kinerja spesifik dalam value preposition.
e.    Customer Profitability: Mengukur keuntungan dari seorang pelanggan, organisasi lain atau segmen setelah dikurangi biaya yang khusus diperlukan untuk mendukung pelanggan tersebut.
c.   Perspektif Proses Bisnis Internal (Internal Business Process Perspective)
Dalam perspektif proses bisnis internal Balanced Scorecard, kepala lembaga pendidikan Islam mengidentifikasi proses-proses yang paling kritis untuk mencapai tujuan peningkatan nilai bagi pelanggan dan tujuan peningkatan nilai bagi internal lembaga pendidikan Islam. Tahapan dalam proses bisnis internal meliputi:
a)    Proses Inovasi
Pada proses inovasi, organisasi mengidentifikasi kebutuhan pengguna pendidikan masa kini dan masa mendatang serta mengembangkan solusi baru untuk kebutuhan penggguna pendidikan. Kaplan menggambarkan proses inovasi dilakukan dalam organisasi sebagai berikut:
Description: Description: Perspektif Proses Bisnis Internal – Proses Inovasi.JPG
Gambar 03: Proses Inovasi Lembaga Pendidikan Islam[14]
b)   Tolok ukur yang dipakai dalam menentukan kinerja proses inovasi diantaranya;
1)   Pembandingan output dalam pencapaian kompetensi dengan lembaga pesaing.
2)   Lamanya waktu yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan dalam mencapai kompetensi baru.
3)   Besarnya biaya pendidikan yang diperlukan dibandingkan dengan lembaga pesaing dan rencana strategik organisasi.
4)   Frekuensi modifikasi atas kegiatan pendidikan yang dikembangkan secara relative dibandingkan dengan pesaing dan rencana strategik organisasi.
c)    Proses Operasional
Mengidentifikasi sumber-sumber pemborosan dalam proses pendidikan serta mengembangkan solusi masalah yang terdapat dalam proses operasional itu demi meningkatkan efisiensi, meningkatkan kualitas proses, memperpendek waktu siklus.
d)   Proses Pelayanan; Berkaitan dengan peningkatan pelayanan kepada pengguna pendidikan.

d.  Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan (Learning dan Growth Perspective)
Di sisi lain Balanced Scorecard meletakkan titik ungkit (leverage) pada perspektif yang paling dasar, yaitu pembelajaran dan pertumbuhan. Sebagai salah satu contoh, sasaran perspektif pembelajaran dan pertumbuhan adalah meningkatnya kapabilitas personel lembaga pendidikan Islam dan meningkatnya komitmen personel lembaga pendidikan Islam. Dua sasaran tersebut ditujukan untuk mencapai sasaran strategik perspektif proses yaitu meningkatnya kualitas proses layanan kepada konsumen, meningkatnya kecepatan proses layanan dan terintegrasikannya proses layanan. Sasaran strategik pada perspektif proses tersebut ditujukan untuk mencapi sasaran strategik perspektif pelanggan pendidikan yaitu meningkatnya kualitas hubungan dengan pelanggan pendidikan, meningkatnya kualitas jasa, dan meningkatnya citra organisasi yang ketiganya akan menghasilkan pertumbuhan pendapatan dan berkurangnya biaya pada perspektif keuangan.
Hasil akhirnya adalah tercapainya sustainable outstanding financial return. Konsekuensi dari sifat hubungan sebab-akibat di atas maka penting sekali bagi organisasi untuk menjaga keseimbangan sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem perencanaan strategik. Konsep ini yang kemudian diadaptasi dalam bentuk kepastian adanya benang merah antara aktivitas unit kerja dengan visi, misi, tujuan institusi.
Dimensi ini sejatinya hendak berfokus pada pengembangan kapabilitas SDM, potensi kepemimpinan dan kekuatan kultur organisasi untuk terus dimekarkan ke titik yang optimal. Dengan kata lain, dimensi ini hendak meletakkan sebuah pondasi yang kokoh agar lembaga pendidikan Islam terus bisa mengibarkan keunggulannya. Contoh KPI (key performance indicators) yang lazim digunakan untuk mengukur kinerja pada dimensi ini antara lain adalah: tingkat kepuasan personal (employee satisfaction index), level kompetensi rata-rata personal, indeks kultur organisasi (organizational culture index), ataupun jumlah jam pelatihan dan pengembangan kompetensi.[15]
Pengembangan dan formulasi dari empat persfektif BSC di atas, diintegrasikan dalam perumusan strategi pengembangan lembaga pendidikan Islam. Dalam strategi Balanced Scorecard digunakan dalam hampir keseluruhan proses penyusunan rencana. Tahapan penyusunan rencana pada dasarnya meliputi enam kegiatan berikut: perumusan strategi, perencanaan strategis, penyusunan program, penyusunan anggaran, implementasi dan pemantauan[16]. Dalam kepentingannya dengan strategi pengembangan lembaga pendidikan Islam direduksi menjadi empat rumusan strategi pengembangan lembaga pendidikan Islam, empat rumusan ini diadaftif dari strategi Balanced Scorecard, adapun susunan rumusan tersebut dapat dijelaskan sebagai pada sub bahasan selanjutnya.

4.   Perumusan Strategi Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam
a.    Perumusan Visi, Misi dan Tujuan Lembaga Pendidikan Islam
Dalam kepentingannya dengan strategi pengembangan lembaga pendidikan Islam direduksi menjadi empat rumusan strategi pengembangan lembaga pendidikan Islam, empat rumusan ini diadaftif dari strategi Balance Scorecard, adapun susunan rumusan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)   Perumusan Visi, Misi dan Tujuan Pendidikan Islam
Dalam strategi Balanced Scorecard tahapan ini sering disebut juga penentuan jati diri. Dalam perumusan  visi, misi, dan tujuan pendidikan lembaga pendidikan Islam, strategi yang dilakukan secara bertahap, yaitu: analisis eksternal dan internal,[17] keyakinan dasar,[18] nilai dasar, dan perumusan strategi itu sendiri.[19] 
a)    Perumusan Visi
Visi menggambarkan akan menjadi apa suatu lembaga pendidikan Islam di masa depan. Ia bersifat sederhana, menumbuhkan rasa wajib, memberikan tantangan, praktis dan realistik, dan ditulis dalam satu kalimat pendek. Contoh visi adalah: “Unggul, Kompetitif, dan Berakhlak Mulia”. Selanjutnya penetapan visi perlu dipertimbangkan dalam berbagai perspektif. Dalam perspektif finansial, perspektif pelanggan. Dalam perspektif proses internal dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. 
b)   Perumusan Misi
Misi menjelaskan lingkup, maksud atau batas kegiatan lembaga pendidikan Islam, yaitu kebutuhan pengguna pendidikan apa yang akan dipenuhi oleh lembaga pendidikan Islam, siapa dan di mana; serta output inti, kompetensi inti (core competency), teknik inti. Misi ditulis sederhana, ringkas, terfokus, unsur-unsur misi meliputi: output inti, transformasi inti, dan teknologi inti, yang dimaksud dengan output inti adalah kemampuan yang dipersepsi bernilai tinggi oleh pengguna pendidikan dan menghasilkan daya guna tinggi dimasyarakat. Kompetensi inti adalah kemampuan kunci yang dimiliki organisasi dalam menghasilkan output inti. Sedang teknologi inti adalah kemampuan sumberdaya manusia (know how), perangkat keras dan perangkat lunak yang menjadi basis kompetensi inti. 
c)    Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan adalah pernyataan tentang apa yang akan diwujudkan sebagai penjabaran visi dan misi lembaga pendidikan Islam. Tujuan dijabarkan dalam empat perpektif pula: Apa tujuan yang berkaitan dengan perspektif pelanggan?. perspektif finansial?. Apa proses bisnis internal yang akan mendukung pencapaian tujuan pelanggan dan finansial?. Apa tujuan pembelajaran dan pertumbuhan?.

Penyusunan tujuan lembaga pendidikan Islam dibuat dalam beberapa tingkatan: tingkat lembaga pendidikan Islam, tingkat unit kegiatan, dan tingkat fungsional. Strategi penetapan tujuan yang baik umumnya mengikuti kriteria sebagai berikut: konsisten secara intern, realistik, berfokus pada pencarian peluang dan penyelesaian akar masalah, meningkatkan pelanggan pendidikan, menonjolkan keunggulan kompetitif, fleksibel, mudah dilaksanakan dalam lembaga pendidikan Islam, dan tanggap terhadap lingkungan eksternal.[20]

b.    Program Pendidikan Islam
Proses penyusunan program pengembangan lembaga pendidikan Islam adalah: menjabarkan sasaran, target, inisiatif, dan penyusunan anggaran menjadi program yang akan dilaksanakan dalam proses pendidikan, memperkirakan investasi yang diperlukan untuk setiap program, menghitung perkiraan penerimaan yang dapat diperoleh dan menghitung perkiraan hasil yang akan diperoleh. Dalam merancang program pendidikan ada tiga perhatian atau indikasi yang ada dalam program pendidikan, yaitu; penentuan sasaran, target dan inisiatif. Ketiga pertimbangan tersebut menjadi penentu penetapan program lembaga pendidikan Islam.
a)    Dalam program lembaga pendidikan Islam ditentukan sasaran yang akan dicapai, istilah sasaran adalah kondisi masa akan datang yang dituju. Sasaran bersifat komprehensif, sesuai dengan tujuan dan strategi, merumuskan sasaran secara koheren, seimbang dan saling mendukung.
b)   Target berfungsi memberikan usaha tambahan tetapi tidak bersifat melemahkan semangat, berjangka waktu dua sampai lima tahun agar memberikan banyak waktu untuk melakukan terobosan, membatasi  banyak target, berfokus pada terobosan dalam satu atau dua area kunci, tergantung pada nilai (value), kesenjangan (gap), ketepatan waktu (time liness), hasrat/keinginan (appetite), keterampilan (skill). Target dapat ditentukan dengan menggunakan hasil benchmarking.[21]  
c)    Inisiatif adalah langkah-langkah jangka panjang untuk mencapai tujuan. Inisiatif tidak harus spesifik pada satu bagian, tetapi dapat bersifat lintas fungsi/bagian, mengindentifikasi hal-hal penting yang harus dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam agar mencapai tujuan, harus jelas agar manajer pendidikan dan bawahan dapat menentukan rencana yang diperlukan, dan memperkirakan sumber daya yang diperlukan untuk mendukung pencapaian strategi secara keseluruhan.

Penyusunan anggaran bertujuan untuk menentukan kegiatan tahun berikutnya dan sumber daya yang diperlukan. Anggaran disusun berdasarkan inisiatif yang telah dirumuskan. Anggaran yang baik adalah: merupakan rencana tindakan terperinci, merupakan rencana satu-dua tahunan, menguraikan biaya yang diperlukan, mengidentifikasi pencapaian terpenting kegiatan, menyebutkan siapa yang akan bertanggung jawab, sebagai referensi menyusun rencana kinerja individual, ditulis secara singkat namun lengkap, alat untuk memantau kinerja dan diperbarui apabila terjadi perubahan.[22]

c.    Proses Pendidikan Islam
Secara umum, istilah proses dapat diartikan sebagai rentetan perubahan yang terjadi dalam perkembangan sesuatu. Adapun maksud kata proses dalam pendidikan adalah tahapan-tahapan perubahan yang dialami seseorang, baik yang bersifat jasmani maupun yang bersifat ruhaniah. Proses dalam hal ini juga berarti tahapan perubahan tingkah laku seseorang, baik yang terbuka maupun yang tertutup pada manusia, baik selaku individu maupun kelompok, dalam hubungannya dengan lingkungan. Lingkungan dalam hal ini meliputi semua orang, barang, keadaan, dan kejadian yang ada di sekitar manusia.
Proses adalah kata yang berasal dari bahasa Latin, yaitu processus yang berarti berjalan ke depan. Kata ini mempunyai konotasi urutan langkah atau kemajuan yang mengarah pada suatu sasaran atau tujuan.[23] Proses pendidikan merupakan kegiatan mobilisasi segenap komponen pendidikan oleh pendidik terarah kepada pencapaian tujuan pendidikan, proses pendidikan sangat menentukan kualitas hasil kualitas, hasil pencapaian tujuan pendidikan.[24] Menurut Chaplin proses adalah perubahan suatu objek atau organisasi khususnya suatu perubahan tingkah laku atau perubahan psikologis. Sedangkan proses dalam pendidikan mengadung arti segala langkah-langkah mengembangkan dan menggambarkan skema penentu kegiatan untuk mencapai suatu institusi pendidikan.
Pada dasarnya proses pendidikan adalah proses tranformasi atau perubahan kualitas tingkah laku individu yang menjadi peserta didik. Perubahan tingkah laku yang diharapkan bukanlah sekedar perubahan dalam penambahan jenis tingkah lakunya, melainkan perubahan struktural yang berkenaan dengan perubahan dalam pola tingkah laku atau pola kepribadian yang semakin sempurna.[25] Tranformasi pendidikan tidak dimaksudkan agar seseorang makin banyak dapat mengerjakan ini dan itu, akan tetapi orang itu semakin mempunyai kemampuan meningkatkan taraf hidunya lahir dan batin dalam pranannya sebagai pribadi, warga masyarakat, dan hamba Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan demikian, proses pendidikan merupakan upaya dalam pencapaian tujuan dan proses pendidikan mempunyai dua arah tujuan, yaitu: Pertama, bersifat menjaga kelangsungan hidup (maintenance synergy). Kedua, menghasilkan sesuatu (effective synergy). Senada dengan pendapat Umar Tirtaraharja[26] bahwa proses pendidikan merupakan kegiatan mobilisasi segenap komponen pendidikan terarah kepada pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, proses pendidikan sangat menentukan kualitas hasil pencapaian tujuan pendidikan.

d.    Tolak Ukur Keberhasilan Program Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam
Tolok ukur adalah alat untuk mengukur kemajuan program. Tolok ukur terdiri dari dua jenis: tolok ukur hasil (lag indicator) dan tolok ukur pemacu kinerja (lead indicator). Keduanya merupakan key performance indicators. Indikator kinerja kunci harus merupakan faktor-faktor yang bisa diukur, masuk secara logis dalam area hasil kunci tertentu yang terprogram secara jelas, mengidentifikasi apa yang akan diukur, bukan berapa banyak atau ke arah mana, merupakan faktor-faktor yang dapat ditelusuri asalnya (tracked) secara terus-menerus sampai tingkat yang memungkinkan.
Tahap ini terjadi pemantauan dan pengendalian proses pendidikan. Membandingkan proses lembaga pendidikan Islam dengan program lembaga pendidikan Islam. Berbagai kemungkinan hasil adalah berhasil, gagal, dan variasi diantara keduanya. Prinsip umum dalam pemantauan adalah mengukur kinerja, membandingkan kinerja, melakukan tinjauan ulang, memberi penghargaan dan mengidentifikasi hasil yang dicapai, mempelajari pengalaman, menyesuaikan dan menyegarkan strategi, dan melakukan perbaikan. Pemantauan harus diikuti dengan pengendalian. Jenis-jenis pengendalian: pengendalian premis/asumsi dasar, pengendalian implementasi, pengawasan strategis, dan pengendalian berdasarkan sinyal-sinyal khusus.

5.   Cara Pengukuran dalam Balanced Scorecard
Sasaran strategik yang dirumuskan untuk mencapai visi dan tujuan organisasi melalui strategi yang telah dipilih perlu ditetapkan ukuran pencapaiannya. Ada dua ukuran yang perlu ditetapkan untuk mengukur keberhasilan pencapaian sasaran strategik, yaitu: ukuran hasil dan ukuran pemacu kinerja. Ukuran hasil merupakan ukuran yang menunjukkan tingkat keberhasilan pencapaian sasaran strategik, sedangkan ukuran pemacu kinerja merupakan ukuran yang menyebabkan hasil yang dicapai.
Cara pengukuran dalam Balanced Scorecard adalah mengukur secara seimbang antara perspektif yang satu dengan perspektif yang lainnya dengan tolok ukur masing-masing perspektif. Menurut Mulyadi[27], kriteria keseimbangan digunakan untuk mengukur sampai sejauh mana sasaran strategik kita capai seimbang di semua perspektif.
Skor dalam tabel kriteria keseimbangan adalah skor standar, jika kinerja semua aspek dalam lembaga pendidikan Islam adalah “baik”. Skor diberikan berdasarkan rating scale berikut:

Skor
Nilai
-1
Kurang
0
Cukup
1
Baik

Tabel 01: Rating Scale

Berikut tabel kriteria cara pengukuran keseimbangan:
Perspektif
Sasaran Strategik
Ukuran Hasil
Ukuran Pemicu Kinerja
Score
Keuangan
Pertumbuhan Pendapatan
Pertumbuhan Biaya
Revenue Mix
1
Perubahan Biaya
Penurunan Biaya
Cycle Effectiveness
1
Pelanggan
Brand Equity: Meningkatnya kualitas layanan customer
Customer Acquisition
Bertambahnya pelanggan baru
1
Customer Retention
Depth of Relationship
1
Customer Satisfaction
Berkurangnya jumlah keluhan
1
Bisnis Internal
Peningkatan Kualitas proses layanan langganan
Jumlah penanganan keluhan
Semakin sedikitnya jumlah keluhan
1
Peningkatan pendapatan
1
Respons Times
1
Pembelajaran & Pertumbuhan
Meningkatnya komitmen pegawai/karyawan
Retensi Pegawai/karyawan
Berkurangnya jumlah pegawai/karyawan yang keluar
1
Meningkatnya kapabilitas pegawai/karyawan
Pelatihan Pegawai/karyawan
Jumlah pegawai/karyawan yang mengikuti pelatihan
1
Total Skor
10

Tabel 02: Kriteria Keseimbangan

C.   Simpulan
Balanced Scorecard adalah sebuah cara pandang baru bagaimana suatu lembaga pendidikan Islam akan dapat lebih baik lagi dikelola. Balanced Scorecard merupakan bagian dari sistem manajemen strategis, yang perlu dirumuskan oleh setiap lembaga pendidikan Islam, agar dapat mencapai visi dan misinya secara efektif. Balanced Scorecard memberikan prosedur bagaimana tujuan organisasi dirinci ke dalam sasaran-sasaran dalam berbagai perspektif secara lengkap, dengan ukuran-ukuran yang jelas. Balanced Scorecard merupakan mekanisme untuk membuat organisasi, termasuk lembaga pendidikan Islam, berfokus pada strategi, karena penerapan Balanced Scorecard memungkinkan semua unit dalam organisasi memberikan kontribusi secara terukur pada pelaksanan strategi organisasi. Balanced Scorecard seyogyanya dikembangkan oleh setiap lembaga pendidikan Islam untuk mempertajam perannya dalam menjalankan fungsi-fungsi lembaga pendidikan Islam, sehingga membedakannya dengan organisasi lembaga pendidikan Islam lain. Tugas pengawasan oleh yang berwenang terhadap lembaga pendidikan Islam akan dipermudah jika instansi pemerintah memiliki strategi berbasis Balanced Scorecard. Perumusan Balanced Scorecard bukan suatu pekerjaan sekali jadi, melainkan tugas yang terus menerus, dengan setiap saat ada proses penyempurnaan dan yang terpenting adalah ia dimanfaatkan untuk mencapai visi dan misi organisasi dalam hal ini lembaga pendidikan Islam.


DAFTAR PUSTAKA

Abudin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, Jakarta: Grafindo, 2001
Arcaro S. Jerome, Quality in Education: An Impelentation Handbook, Penterjemah Yosal Iriantara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
Atik Sulastri, Penerapan Balanced Scorecard sebagai Sistem Penilaian Kinerja pada Rumah Sakit Islam, Skripsi tidak dipublikasikan, 2001
Budi W Soetjipto, Mengukur Kinerja Bisnis dengan Balanced Scorecard, 1997. Usahawan No. 6
Efarim Ferdinan Giri, Balanced Scorecard: Suatu Sistem Pengukuran Kinerja Strategik. Kajian Bisnis, Januari-April 1998
G. Rinehart, Quality Education: Applying the Philosophy of Dr. Edward Deming to Transform the educational system, Milwaukee: ASQC Quality Press, 1993
Gatot Widayanto, EVA/NITAMI: Suatu Terobosan dalam Pengukuran Kinerja Perusahaan”. Usahawan, 1993 No.12
Hujair Hanafi, Paradigma Pendidikan Islam Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Jakarta: Shafira Insania Press, 2003
Ihyaul Ulum, Audit Sektor Publik Suatu Pengantar, Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan Pengembangan Kurikulum Hingga,  Redifinisi Islamisasi Pengetahuan, Bandung: Nuansa, 2003
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan: Dengan Pendekatan Baru, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010
Mulyadi, dkk, Sistem Perencanaan dan Pengendalian Manajemen: Sistem Pelipatgandaan Kinerja Keuangan Perusahaan, Jakarta: Salemba Empat, 2001
Nanang Fattah, Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan Sekolah, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004
Paris Kaplan dan  Norton Robert S. The Balanced Scorecard, Boston: Harvard Business School Press, 1996
Ryans, System Analysis in Education Planning, London: Rontledge and Kegan Paul, 1982
Saeful Sagala, Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2010
Sanusi Uews, Silabus Mata Kuliah Pendidikan Islam Kontemporer, 2012
___________, Visi dan Pondasi Pendidikan Dalam Persfektif Islam, Bandung:  Logos Wacana Ilmu, 2003
Sony Yuwono, Petunjuk Praktis Penyusunan Balanced Scorecard: Menuju Organisasi yang Berfokus pada Strategi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003
Syafaruddin, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, Jakarta: Grasindo, 2002
Umar Tirtaraharja, Pengantar Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta, 2005


[1]Gatot Widayanto, EVA/NITAMI: Suatu Terobosan dalam Pengukuran Kinerja Perusahaan”. Usahawan, 1993 No.12

[2]Efarim Ferdinan Giri, Balanced Scorecard: Suatu Sistem Pengukuran Kinerja Strategik. Kajian Bisnis, Januari-April 1998. No. 13, hlm. 35-46


[3]Ihyaul Ulum, Audit Sektor Publik Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 43


[4]Atik Sulastri, Penerapan Balanced Scorecard sebagai Sistem Penilaian Kinerja pada Rumah Sakit Islam, Skripsi tidak dipublikasikan, 2001.


[5]Budi W Soetjipto, Mengukur Kinerja Bisnis dengan Balanced Scorecard, 1997. Usahawan No. 6


[6]Sony Yuwono, Petunjuk Praktis Penyusunan Balanced Scorecard: Menuju Organisasi yang Berfokus pada Strategi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 65


[7]Sanusi Uews, Silabus Mata Kuliah Pendidikan Islam Kontemporer, 2012, hlm. 9


[8]Sony Yuwono, Petujuk, hlm. 55.


[9]Strategi pengembangan adalah proses merumuskan dan mengimplementasikan strategi untuk mewujudkan visi secara terus menerus secara terstruktur. Strategi adalah pola tindakan terpilih untuk mencapai tujuan tertentu. Sony Yuwono, et.al; Petunjuk, hlm. 78.


[10]Ibid., hlm. 104.


[11]Paris Kaplan dan  Norton Robert S. The Balanced Scorecard, (Boston: Harvard Business School Press, 1996), hlm. 43.


[12]Ibid., hlm. 43.


[13]Kaplan and Norton, Translating Strategy into Action Balanced Scorecard, (Boston: Harvard Business School Press, 1996), hlm. 23.


[14]Ibid., hlm. 36


[15]Ibid., hlm. 106.


[16]Ibid., hlm.118.


[17]Analisis eksternal terdiri dari analisis lingkungan makro dan mikro. Analisis lingkungan makro bertujuan mengidentifiksasi peluang dan ancaman makro yang berdampak terhadap pengembangan dan daya ungggul lembaga pendidikan Islam. Analisis internal ditujukan untuk merumuskan kekuatan dan kelemahan lembaga pendidikan Islam.


[18]Keyakinan dasar adalah pernyataan yang perlu dipegang pimpinan lembaga pendidikan Islam dan yang dalam menghadapi hambatan dan ketidakpastian. Pernyataan ini untuk mendorong semangat mewujudkan visi, misi, dan tujuan lembaga pendidikan Islam.


[19]Nilai dasar adalah untuk membimbing sumber daya lembaga pendidikan Islam dalam memutuskan pilihan yang dapat muncul setiap saat. Contoh: nilai dasar adalah: Diversity-menghargai perbedaan setiap orang, Integrity – melakukan apa yang dikatakan, Honesty -berbicara terbuka dan bekerja keras memahami dan menyelesaikan masalah, Teamwork -bekerja untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, Accountability - kesungguhan memenuhi harapan, Balance – menghargai keputusan seseorang untuk mencapai keseimbangan dalam hidup. 


[20]Diadaptasi dari Kaplan and Norton, hlm.121-124.


[21]Benchmarking adalah untuk mendapat informasi praktik terbaik, untuk membangun suatu kasus yang jelas guna mengkomunikasikan betapa pentingnya mencapai target-target itu.


[22]Kaplan and Norton, hlm.127-205.


[23]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan: Dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 110.


[24]Umar Tirtaraharja, Pengantar Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2005), hlm. 40.


[25]Saeful Sagala, Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan, (Bandung: Alfabeta), hlm. 20.


[26]Umar Tirtaraharja, Pengatar, hlm. 40.


[27]Mulyadi, dkk, Sistem Perencanaan dan Pengendalian Manajemen: Sistem Pelipatgandaan Kinerja Keuangan Perusahaan, (Jakarta: Salemba Empat, 2001), hlm. 62